Pemerintah Mestinya Beri Pilihan, Bukan Paksa Bayar dengan E-Toll
Guna mempercepat transksi di gerbang tol, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) mulai mewajibkan pembayaran non tunai menggunakan kartu uang elektronik atau e-toll. Aturan tersebut mulai diberlakukan 31 Oktober 2017 diikuti terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 26/PRT/M/2017.
Namun, kebijakan tersebut ternyata belum bisa diterima di semua lini masyarakat. Di daerah Surabaya dan Malang misalnya banyak masyarakat yang menolak pembayaran dengan e-toll. Pasalnya masyarakat masih memahami Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
“UU 7/2011 tentang mata uang, pasal 22 mengatakan alat transaksi yang sah di negara kesatuan Republik Indonesia ini adalah uang rupiah, yang dimaksud mata uang rupiah adalah (uang kertas atau logam) bukan e-toll. Sehingga masyarakat pengguna jemabatan Suramadu tetap beranggapan pembayaran yang sah itu dengan rupiah,” ungkap anggota Komisi V DPR RI Nizar Zahro dalam Rapat Paripurna DPR RI Pembukaan Masa Sidang II, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (15/11).
Seharusnya, lanjut Nizar pemerintah memberikan pilihan kepada masyarakat, bukan memaksa masyarakat membayar dengan memakai e-toll, terlebih hal itu tidak memiliki dasar hukum.
“Tidak semua keputusan menteri bisa diberlakukan di masyarakat. Masyarakat pengguna jembatan Suramadu ingin ada sebuah pilihan. Masyarakat bukan hanya dipertontonkan untuk diwajibkan membayar dengan memakai e-toll tetapi ada juga pilihan untuk memakai uang rupiah,” jelasnya.
Maka dari itu, politisi F-Gerindra itu sangat berharap permasalahan ini bisa ditindaklanjuti, jangan sampai kita mendukung program pemerintah yang dasar hukumnya tidak ada. (rnm,mp)